BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
“
Megahnya sebuah kerajaan tergantung kepada kehebatan dari pengurus dan keluarga
kerajaan. Jayanya suatu negara tergantung kepada pemimpin dan jiwa dan peran
pemudanya. Mustahil sekali kejayaan, kemegahan, dan kemakmuran dicapai apabila
peran pemuda tidak bisa memberikan nilai kontribusi kepada negaranya.
Kontribusi yang dimaksud adalah sejauhmana kualitas moral dan intelektual
generasi muda disumbangkan kepada eksistensi negaranya. Sudah menjadi hukum
alam yang tua akan digantikan yang muda, yang patah akan ditumbuhi tunas baru
untuk terus berkembang sehingga siklus perkembangan berjalan secara hukum alam
dan kodrati ” .
Generasi
muda merupakan harapan untuk menggantikan mereka yang sudah tua. Sudah
sepantasnya generasi muda harus siap melanjutkan bahkan mengembangkan apa yang
sudah dilakukan oleh orang sebelumnya. Hal ini akan terus berjalan sesuai
dengan perkembangan zaman dan menjadi
pengaruh besar dalam perkembangan sebuah bangsa dan negara ke depan.
Generasi
muda yang mempunyai moral atau dalam Islam disebut sebagai akhlak merupakan
konsekuensi yang harus ada apabila sebuah bangsa ingin maju dan berkembang.
Tidak akan mungkin negara bisa berkembang apabila generasi muda dari bangsa itu
sendiri tidak memiliki akhlak yang mulia tetapi justru mengedepankan
kemungkaran menuju kerusakan.
Rasulullah
SAW telah jelas mewasiatkan kepada umatnya bahwa kokohnya kehidupan bangsa
tergantung kepada moral atau akhlak generasi muda yang ada dalam bangsa itu.
Apabila generasi muda berada dalam lembah kenistaan maka kehancuran bangsa
menjadi konsekuensi yang harus diterima.
Kita
sering melihat dan sudah menjadi pemandangan umum, bahwa generasi muda zaman
sekarang sebagai tulang punggung negara sudah sangat memprihatinkan.
Disana-sini terjadi kerusakan moral dan akhlak, pemuda lebih suka hidup dalam
gemerlapnya dunia malam yang mengarah kepada pergaulan bebas tentunya yang
berujung kepada free seks . Banyak pemuda lebih mengetahui dan paham dengan
budaya-budaya aneh seperti budaya Eropa yang sangat jauh berbeda dengan budaya
bangsa Indonesia yang ramah dan bermoral. Misalkan saja dari cara berpakaian
yang sangat menyilaukan mata, cara bergaul yang sungguh tidak bermoral dan
beradab, cara berbicara yang tidak mengenal lawan bicara apakah itu yang tua
atau yang muda, ditambah lagi kasus yang hangat diperbincangan baik itu dimedia
masa ataupun media elektronik seperti kasus narkoba, prostitusi, tawuran, demo
anarkis, dan lain-lain. Ironis sekali sekarang bangsa Indonesia mengalami
degradasi moral, sebab pendidikan agama tak mampu lagi membangun moralitas
ditengah masyarakat.
Dalam
makalah ini kami akan membahas tentang degradasi moral yang tengah dihadapi
bangsa Indonesia dan pengaruhnya dalam membangun karakter bangsa ( Nation and
acaracter building ), tapi kami akan membatasi hanya dalam masalah tawuran.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Sejauhmana
tawuran telah menjadi budaya di Indonesia ?
2. Apa
yang menjadi penyebab tawuran pelajar /
mahasiswa di Indonesia ?
3. Bagaimana
dampak tawuran dalam upaya membangun karakter bangsa ( Nation and Character
Building ) ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Agar
kita mengetahui sejauh mana tawuran telah menjadi budaya di Indonesia
2. Mengetahui
faktor-faktor yang menyebabkan tawuran
3. Mengetahui
dampak tawuran dalam upaya membangun karakter bangsa ( nation and character
building )
1.4 Prosedur Pemecahan Masalah
Wajah
dunia pendidikan nasional kembali tercoreng oleh ulah para oknum pelajar yang
melakukan aksi tawuran. Sebenarnya ada beberapa cara untuk mencegah atau
menanggulangi masalah tawuran pelajar, diantaranya :
1. Mengenalkan
sejak dini cara bersosialisasi yang baik dengan sesama.
2. Orangtua
wajib mencontohkan bagaimana cara bergaul yang selayaknya, bagaimana cara
bersikap, dan merespon sebuah kondisi yang bertentangan dengan kita, dan
sebagainya.
3. Menuntun
untuk memahami agama dengan baik. Agama menjadi pondasi pertama dalam membentuk
karakter seseorang ( character building ).
4. Mengaktifkan
kembali organisasi kepemudaan. Disini tugas pemerintah adalah memfasilitasi
para remaja dalam bersosialisasi.Membekali mereka dengan materi-materi
kemanusiaan, atau kegiatan positif lainnya agar pelajar mampu mencari jati diri
mereka
5. Membudayakan
olahraga. Kenapa olahraga ? Tawuran bisa jadi akibat tidak adanya tempat
“penyaluran emosi” bagi pelakunya, sedangkan kita ketahui olahraga dapat
menjadi alternative dalam membuang emosi negatif. Jika suka tawuran, masuk saja
ke perkumpulan bela diri, dan berprestasilah, begitu secara sederhananya.
6. Masukan
kembali PMP dalam kurikulum sekolah. Dengan memasukan kembali pelajaran
Pendidikan Moral Pancasila ( PMP ) diharapkan mampu membuat pelajar tersentuh
“hatinya” dalam bermasyarakat karena berfokus pada pengembangan “Moral” yang
berdasarkan “Pancasila”, negara ini tidak butuh generasi muda yang hafal
Undang-Undang, pasal-pasal, yang mirip pelajaran hukum, tetapi butuh generasi
muda yang bermoral dan cinta bangsa nya.
1.5 Sistematika
Penulisan
·
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2
Rumusan Masalah
1.3
Tujuan Penulisan
1.4
Prosedur Pemecahan Masalah
1.5
Sistematika Penulisan
·
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian etnis, etnisasi dan ‘nation and character building’
·
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Budaya tawuran di Indonesia
3.2 Penyebab tawuran
3.3 Dampak tawuran
dalam membangun karakter Bangsa (Nation and character building)
·
BAB IV KESIMPULAN
·
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
etnis, etnisasi dan ‘nation and character building’
1.
Etnis
Dalam
Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnis atau etnik berarti kelompok
sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan
tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota
suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa
(baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan
tradisi.
Menurut
Frederich Barth ( 1988) Etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena
kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut
terikat pada sistem nilai budayanya. Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang
sebagai suatu populasi yang mampu melestarikan kelangsungan kelompok dengan
berkembang biak. Mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa
kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya. Membentuk jaringan komunikasi dan
interaksi sendiri, menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh
kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
Schemerhon
dalam Purwanto (2007) mendefinisikan etnik sebagai kolektiva yang memiliki
persamaan asal nenek moyang, baik secara nyata maupun semu, memiliki pengalaman
sejarah yang sama, dan suatu kesamaan fokus budaya yang terpusat pada
unsur-unsur simbolik yang melambangkan persamaan ciri-ciri fenotipe, religi,
bahasa, pola kekerabatan, dan gabungan unsur-unsur itu.
2.
Etnisitas
Etnisitas
adalah suku bangsa, yakni berkaitan dengan kesadaran akan kesamaan tradisi
budaya, biologis, dan jati diri sebagai suatu kelompok (Tilaar, 2007:4-5) dalam
suatu masyarakat yang lebih luas.
3.
Nation
and Character Building
Nation
and character building merupakan pembangunan karakter dan bangsa. Ernest Renan
berpendapat, nation atau bangsa ialah suatu solidaritas besar, yang terbentuk karena
adanya kesadaran akan pentingnya berkorban dan hidup bersama-sama di tengah
perbedaan, dan mereka dipersatukan oleh adanya visi bersama. Sedangkan arti
karakter itu sendiri berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’,
bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang punya kualitas moral
(tertentu) yang positif. Dengan demikian, pembangunan karakter, secara implisit
mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan
dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang
buruk, khususnya disini bangsa yakni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Budaya
Tawuran di Indonesia
Tawuran sepertinya sudah menjadi bagian dari budaya
bangsa Indonesia. Sehingga jika mendengar kata tawuran, sepertinya masyarakat
Indonesia sudah tidak asing lagi. Hampir setiap minggu, berita itu menghiasi
media massa. Bukan hanya tawuran antar pelajar saja yang menghiasi kolom-kolom
media cetak, tetapi tawuran antar polisi dan tentara , antar polisi pamong
praja dengan pedagang kaki lima, sungguh menyedihkan. Inilah fenomena yang
terjadi di masyarakat kita.
Tawuran antar pelajar maupun tawuran antar remaja
semakin menjadi semenjak terciptanya geng-geng. Perilaku anarkis selalu
dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat. Mereka itu sudah tidak merasa bahwa
perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa mengganggu ketenangan masyarakat.
Sebaliknya mereka merasa bangga jika masyarakat itu takut dengan geng
kelompoknya. Seorang pelajar seharusnya tidak melakukan tindakan yang tidak
terpuji seperti itu.
Biasanya permusuhan antar sekolah dimulai dari
masalah yang sangat sepele. Namun remaja yang masih labil tingkat emosinya
justru menanggapinya sebagai sebuah tantangan. Pemicu lain biasanya dendam,
dengan rasa kesetiakawanan yang tinggi para siswa tersebut akan membalas
perlakuan yang disebabkan oleh siswa sekolah yang dianggap merugikan seorang
siswa atau mencemarkan nama baik sekolah tersebut. Sebenarnya jika kita mau
melihat lebih dalam lagi, salah satu akar permasalahannya adalah tingkat
kestressan siswa yang tinggi dan pemahaman agama yang masih rendah. Benar-benar suatu hal yang menyedihkan, ditengah suasana pembangunan
Indonesia yang makin semrawut,
tawuran pelajar dan mahasiswa menjadikan wajah negeri kita ini yang dahulunya
terkenal ramah kini
terlihat garang.
Tawuran merupakan
perkelahian massal, atau perkelahian beramai-ramai (2008, KBBI). Masyarakat
gempar dengan maraknya tawuran akhir-akhir ini. Di kota-kota besar seperti
Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di Jakarta
misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian
pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar,
tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan dua
anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar
serta dua anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban
tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung
meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga
perkelahian di tiga tempat sekaligus. (KPAI, 2012).
Tawuran lebih dari sekedar perkelahian anak-anak
berandal yang bisa diselesaikan dengan hukuman. Tawuran mengisahkan sesuatu
yang lebih sinister 1), sebagai riak permukaan dari kedalaman krisis
multidimensional yang melanda bangsa.
Untuk memahami akar masalah dari tawuran pelajar,
kita bisa meminjam beberapa perspektif teori sosiologi dalam menilik terjadinya
krisis sosial serta solusi penyelesaiannya.
Menurut Teori
“Patologi Sosial” 2),
sebab pokok masalah sosial adalah kegagalan sosialisasi norma-norma moralitas
yang membuat warga masyarakat melakukan pelanggaran terhadap ekspektasi
kepatutan moral. Kisah tawuran pelajar bukanlah suatu kasus yang berdiri
sendiri, melainkan ada kesejajarannya dengan kisah penegak hukum yang menjadi
pelindung penjahat, “bonek” menghancurkan sarana publik, wakil rakyat lebih
memperjuangkan aspirasi yang bayar. Erosi moralitas ini disebabkan oleh
kegagalan proses belajar sosial akibat kerapuhan sistem pendidikan dan pranata
sosial. Pendidikan terlalu menekankan aspek kognitif dalam kerangka “belajar
untuk tahu” (learning to know), kurang memperhatikan arti penting “belajar
untuk mengerjakan kecakapan hidup” (learning to do), “belajar mengembangkan
jatidiri” (learning to be), serta “belajar mengembangkan keharmonisan hidup
bersama” (learning to live together).
Dalam masyarakat tradisional, proses belajar sosial
dan kontrol moral ini bisa dilakukan lewat kedekatan hubungan sosial dan
institusi gosip. Karena modernisasi, hubungan sosial merenggang diikuti
menguatnya ketidakpedulian sosial. Sementara itu, institusi pendidikan dan
pranata baru masyarakat tak mampu mengantisipasi perkembangan. Dalam perspektif
ini, solusinya adalah penyempurnaan proses belajar sosial dan pendidikan
karakter.
Menurut Teori
“Disorganisasi Sosial”, masalah sosial terjadi karena kemacetan sistem
peraturan. Hal ini disebabkan oleh bubrahnya tradisi, konflik antarperaturan,
serta
1) Sinister = yang mengancam
2) Menurut St. Yembiarto ( 1981) bahwa
studi patologi social memiliki fase-fase sendiri. Perkembangan Patologi Sosial
ada 3 fase, yaitu fase masalah sosial, fase disorganisasi sosial, dan fase
sistematik
kealpaan
dan kelemahan sistem hukum. Perubahan sosial yang dipicu perkembangan teknologi, penduduk, dan budaya mempercepat
ketidaksesuaian sistem peraturan. Sementara
itu,
kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat yang diuntung kan oleh peraturan
lama berusaha mempertahankan kelemahan sistem peraturan. Hal ini diperburuk
oleh lemahnya law enforcement sebagai penjamin kepastian hukum. Akibatnya,
terjadi pembusukan pada sistem saraf sosial yang bertugas menjaga keserasian
hubungan kemasyarakatan. Dalam perspektif ini, solusinya adalah membangun
kembali keseimbangan sistem sosial dengan melakukan reformasi sis tem peraturan
dan penegakan kepastian hukum.
Menurut teori “Konflik
Nilai”, masalah sosial terjadi karena benturan nilai. Kompetisi budaya dan
ideologi serta tipe-tipe kontak antarkelompok dalam masyarakat menyulut
ketegangan sosial. Perebutan pengaruh antarpendukung liberalisme dan
fundamentalisme, antarpemeluk agama, antara nilai-nilai Barat dan Timur, atau
antara kalangan atas dan bawah menimbulkan polarisasi sosial dan pengerasan
identitas kelompok dalam masyarakat. Dalam perspektif ini, solusinya adalah
ketegasan otoritas terhadap aturan hukum, disertai upaya tawarmenawar ( bargaining),
dan penyediaan mekanisme konsensus.
Menurut teori “Penyimpangan
Perilaku”, masalah sosial terjadi karena kegagalan institusi ke luarga
(primary group) serta rusaknya keteladanan yang mendorong individu memilih
proses sosialisasi yang menyimpang. Konsentrasi perhatian orang tua pada
hal-hal di luar rumah, apresiasi yang berlebihan terhadap nilai-nilai lahiriah
ketimbang keharmonisan keluarga, dan rapuhnya keteladanan moral tokoh-tokoh
masyarakat dan politik, membawa anak pada hipnosis tokoh-tokoh fiksional atau
antisosial. Akibatnya, banyak anak menyimpang dari kesusilaan perilaku yang
diharapkan. Dalam perspektif ini, solusinya adalah membangun kembali pranata
keluarga sebagai basis tumpuan moralitas, serta membatasi kontak anak terhadap
lingkungan pergaulan dan idola-idola (role model) yang menyimpang, seraya
memulihkan kembali kredibilitas moral tokoh-tokoh publik.
Menurut teori “Sosial
Kritis”, masalah sosial pada akhirnya harus dipandang sebagai masalah
endemik dan bagian inheren dari masyarakat kapitalis. Sebab, pokok dari masalah
sosial adalah dominasi dan konflik kelas: kalangan “berada” terus-menerus
mempertahankan dan memperluas apa-apa yang dimilikinya dengan pengorbanan
mereka yang “tak punya”. Konflik kelas dipicu oleh sistem dominasi sosial yang
me langgengkan ketidakadilan. Pada akhirnya, orang, kelas, dan negara yang kaya
tambah kaya, sedangkan orang, kelas, dan negara lain yang miskin tambah miskin.
Dalam perspektif ini, munculnya gejala fundamentalisme, terorisme, separatisme,
serta bentuk-bentuk kekerasan lain nya tak bisa dilepaskan dari
struktur-struktur ketidakadilan. Maka itu, solusi terhadap masalah sosial
adalah penghancuran struktur-struktur dominasi seperti itu, apakah lewat
perjuangan kelas atau bentuk-bentuk perlawanan lainnya. ( Sumber : Republika / Yudi Latif )
3.2 Penyebab
Tawuran
Tawuran
antar pelajar dan mahasiswa bukanlah masalah baru, tapi masalah lama yang terus
berulang. Beberapa faktor yang menyebabkan pelajar dan mahasiswa tawuran antara
lain :
1. Tawuran disebabkan karena tidak
efektifnya pendidikan agama disekolah yang hanya melulu mengurusi persoalan
kognitif semata, pendidikan agama dinilai gagal, atau setidaknya belum mampu
secara maksimal dimanfaatkan sekolah
untuk membentuk watak dan perilaku siswa sesuai dengan harapan.
2. Tawuran disebabkan oleh kurikulum
sekolah yang terlalu padat sehingga guru hanya berfikir untuk mencapai target
pengajaran lalu lupa memoles sisi spiritualitas dan moralitas siswa.
3. Tawuran disebabkan oleh faktor
lingkungan atau budaya sosial yang tidak baik. Seperti yang disampaikan oleh
wakil menteri pendidikan dan kebudayaan (Wamendikbud), Musliar Kasim, bahwa
kondisi sosial sangat berperan dalam membentuk budaya siswa. Setidaknya
demonstrasi yang sering berujung pada bentrokan, seperti yang sering
dipertontonkan diberbagai media, merupakan sesuatu yang tidak cocok untuk
perkembangan emosional remaja. Banyak sedikit mereka akan terpola dengan budaya
sosial yang tidak sehat dan mengemasnya dalam bentuk tawuran antar pelajar.
4. Tawuran dipicu oleh emosional para
siswa yang masih labil dan mencari jati diri. mereka mudah terpancing oleh
stimulus negative yang ada disekitarnya, merasa tercabik harga dirinya jika
tidak mengadakan perlawanan terhadap orang yang merendahkannya, dan ada
perasaan bangga atau hebat jika dia mampu membuat orang lain yang dianggap
lawannya tertekan karena perlawanannya.
5. Tawuran disebabkan karena maraknya
kasus bullying yang akhirnya memicu balas dendam. Seperti ditegaskan Jusuf
Kalla, bullying dapat berpotensi menjadi pemicu tawuran. Ini memang benar
adanya bullying bisa saja memunculkan dendam siswa junior kepada siswa senior
yang boleh jadi memanfaatkan rekan-rekannya disekolah lain untuk melakukan
balas dendam.
6. Karena lemahnya pembinanaan moral dan
mentalitas anak dalam keluarga. Sebagian
besar orangtua sibuk kerja diluar rumah dari pagi sampai sore, bahkan hingga
malam. Kealpaan orang tua dirumah kemudian berdampak kepada kurangnya perhatian
kepada anak, sehingga mentalitas mereka tidak terbentuk dengan baik.
7. Tawuran dikarenakan semakin melemahnya
upaya pembentukan moral siswa oleh guru, lantaran ketakutan mereka terhadap UU
No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Dampaknya banyak guru yang terkesan
membiarkan siswa yang terlihat nakal. Akhirnya mereka secara moral tumbuh dan
berkembang menjadi sosok yang mudah terseret berbagai kasus penyimpangan.
8. Kurangnya kesadaran untuk hidup
bersama. Padahal, para pendiri bangsa ini telah meletakkan dasar kehidupan berbangsa
dan bernegara melalui Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.
3.3 Dampak tawuran dalam upaya membangun
karakter bangsa (Nation and Character Building)
Selama
ini bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang harmonis, ramah, dengan
tingkat toleransi yang tinggi. Kesan demikian, khususnya pada era reformasi
tampak kian pudar, seiring dengan munculnya banyak konflik sosial secara
horisontal di kalangan masyarakat, dan banyaknya kerusuhan sosial yang terjadi.
Tentu saja berbagai kejadian yang muncul tersebut menodai proses “nation and character building”.
Nation
and character building merupakan pembangunan karakter dan bangsa. Karakter
disini berkaitan dengan kekuatan moral,
berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang
yang punya kualitas moral (tertentu) yang positif.
Generasi
muda merupakan harapan untuk menggantikan mereka yang sudah tua. Sudah
sepantasnya generasi muda harus siap melanjutkan bahkan mengembangkan apa yang
sudah dilakukan oleh orang sebelumnya. Hal ini akan terus berjalan sesuai
dengan perkembangan zaman dan menjadi
pengaruh besar dalam perkembangan sebuah bangsa dan negara ke depan.
Namun
apa jadinya jika suatu bangsa memiliki generasi muda yang gemar tawuran dan
tidak memiliki moral yang baik. Sungguh miris, nation and character building
dalam kerangka berkepribadian di bidang budaya, kini sudah tidak mempunyai ruh.
Generasi muda kita “mati muda” dalam kemudaannya.
Linda
Gumelar menilai, tawuran pelajar terutama yang anarkis bahkan hingga menelan
korban jiwa merupakan salah satu bentuk kemerosotan nilai-nilai karakter
bangsa. Pendidikan karakter harus diperbanyak prakteknya jangan hanya teorinya
saja, dengan karakter yang kuat maka anak-anak didik Indonesia tidak akan mudah
terpengaruh dengan pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh lingkungan sekitar.
Menurut
Sudibjo Aliemuso, orangtua memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk
karakter anak sehingga tidak terlibat tawuran antar pelajar. Keluarga harus
menjadikan tempat yang nyaman bagi remaja untuk mencurahkan berbagai
permasalahannya.
Suatu
bangsa tidak akan mungkin menjadi suatu bangsa yang hebat apabila para generasi
mudanya tidak memiliki moral yang baik, untuk itu dalam upaya membangun
karakter bangsa ( Nation and character building ) perlu diadakan suatu wadah
kreatifitas misalnya dibidang olahraga. Kenapa olahraga ? Tawuran bisa jadi
akibat tidak adanya tempat “penyaluran emosi” bagi pelakunya, sedangkan kita
ketahui olahraga dapat menjadi alternative dalam membuang emosi negatif. Jika
suka tawuran, masuk saja ke perkumpulan bela diri, dan berprestasilah, begitu
secara sederhananya. Selain itu masukan kembali PMP dalam kurikulum sekolah.
Dengan memasukan kembali pelajaran Pendidikan Moral Pancasila ( PMP ) diharapkan
mampu membuat generasi muda tersentuh “hatinya” dalam bermasyarakat karena
berfokus pada pengembangan “Moral” yang berdasarkan “Pancasila”, negara ini tidak
butuh generasi muda yang hapal Undang-Undang, Pasal-Pasal, yang mirip pelajaran
hukum, tetapi butuh generasi muda yang bermoral dan cinta bangsa nya.
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Tawuran
pelajar terutama yang anarkis bahkan hingga menelan korban jiwa merupakan salah
satu bentuk kemerosotan nilai-nilai karakter bangsa. Pendidikan karakter harus
diperbanyak prakteknya jangan hanya teorinya saja, dengan karakter yang kuat
maka anak-anak didik Indonesia tidak akan mudah terpengaruh dengan pengaruh
buruk yang ditimbulkan oleh lingkungan sekitar.
Tawuran
disebabkan karena tidak efektifnya pendidikan agama disekolah yang hanya melulu
mengurusi persoalan kognitif semata, pendidikan agama dinilai gagal, atau
setidaknya belum mampu secara maksimal
dimanfaatkan sekolah untuk membentuk watak dan perilaku siswa sesuai dengan
harapan. Tawuran disebabkan oleh kurikulum sekolah yang terlalu padat sehingga
guru hanya berfikir untuk mencapai target pengajaran lalu lupa memoles sisi
spiritualitas dan moralitas siswa. Tawuran disebabkan oleh faktor lingkungan
atau budaya sosial yang tidak baik. Tawuran dipicu oleh emosional para siswa
yang masih labil dan mencari jati diri. Karena lemahnya pembinanaan moral dan
mentalitas anak dalam keluarga. Tawuran
disebabkan karena maraknya kasus bullying yang akhirnya memicu balas dendam. Kurangnya
kesadaran untuk hidup bersama. Padahal, para pendiri bangsa ini telah
meletakkan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara melalui Pancasila, UUD 45,
Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.
Suatu
bangsa tidak akan mungkin menjadi suatu bangsa yang hebat apabila para generasi
mudanya tidak memiliki moral yang baik, untuk itu dalam upaya membangun
karakter bangsa ( Nation and character building ) perlu diadakan suatu wadah
kreatifitas misalnya dibidang olahraga. Kenapa olahraga ? Tawuran bisa jadi
akibat tidak adanya tempat “penyaluran emosi” bagi pelakunya, sedangkan kita
ketahui olahraga dapat menjadi alternative dalam membuang emosi negatif. Jika
suka tawuran, masuk saja ke perkumpulan bela diri, dan berprestasilah, begitu
secara sederhananya. Selain itu masukan kembali PMP dalam kurikulum sekolah.
Dengan memasukan kembali pelajaran Pendidikan Moral Pancasila ( PMP ) diharapkan
mampu membuat generasi muda tersentuh “hatinya” dalam bermasyarakat karena
berfokus pada pengembangan “Moral” yang berdasarkan “Pancasila”, negara ini tidak
butuh generasi muda yang hapal Undang-Undang, Pasal-Pasal, yang mirip pelajaran
hukum, tetapi butuh generasi muda yang bermoral dan cinta bangsa nya.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment