BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia
adalah makhluk individu yang tidak dapat melepaskan diri dari hubungan dengan sesama
manusia lain didalam menjalani kehidupannya. Berbeda dengan makhluk lainnya,
seperti hewan misalnya, tanpa manusia lainnya manusia akan mati. Sejak
dilahirkan, manusia merupakan individu yang membutuhkan individu lainnya untuk
dapat bertahan dan melangsungkan kehidupannya. Seorang bayi yang baru
dilahirkan membutuhkan seorang ibu yang dapat memberinya makan, melatih
berjalan, dan melindunginya. Selain itu, manusia berbeda dengan hewan yang
mempunyai kelengkapan fisik untuk dapat bertahan sendiri.
Fredman
(1962:112) menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang tidak dilahirkan
dengan kecakapan untuk “immediate
adaptation to environment” atau kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
segera terhadap lingkungannya. Namun lebih dari itu, manusia diberi alat yang
melebihi kekuatan fisik, yaitu akal, fikiran, dan perasaan yang tidak dimiliki
makhluk lain.
Seperti
telah dijelaskan diatas bahwa manusia sejak dilahirkan telah membutuhkan
manusia lainnya untuk dapat bertahan sehingga jika ia hidup sendirian akan
mengalami gangguan kejiwaan. Dengan bergaul bersama manusia lainnya, ia akan
merasakan kepuasan dalam jiwanya. Naluri manusia untuk selalu berhubungan
dengan sesamanya ini dilandasi oleh alasan-alasan sebagai berikut:
1. Keinginan
manusia untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya (masyarakat)
Keinginan-keinginan
tersebut mendorong manusia untuk berinteraksi, beradaptasi dengan lingkungannya
dengan menggunakan fikiran, akal dan perasaannya sehingga ia bertahan dan dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya. Naluri manusia untuk selalu hidup dengan yang
lainnya disebut sebagai “gregariousness”.
Oleh karena itu, manusia juga disebut sebagai “sosial animal”, yaitu “hewan
sosial” yang mempunyai naluri untuk senantiasa hidup bersama.
Sebagai
makhluk sosial yang membutuhkan pertolongan orang lain, maka seyogyanya kita
juga sukarela menolong atau memberikan bantuan terhadap orang lain. Perilaku
menolong ini biasa disebut perilaku prososial
atau kepedulian sosial.
Kepedulian
sosial yang dimaksud adalah perasaan bertanggung jawab atas kesulitan yang
dihadapi oleh orang lain di mana seseorang berdiam dan terdorong untuk
melakukan sesuatu untuk mengatasinya (Lawang , 1994:181).
Kepedulian
untuk melakukan semua itu tidak bisa tumbuh begitu saja pada diri setiap orang,
hal ini membutuhkan proses melatih dan mendidik. Di sini pola pengasuhan
berperan sangat penting, terutama yang dilakukan oleh keluarga.
Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan di lingkungan rumah, peneliti menarik kesimpulan
bahwa pada masa sekarang banyak peristiwa yang menunjukan berkurangnya sikap
kepedulian sosial . Misalnya jika ada bencana atau tercemarnya lingkungan tidak
ada rasa saling gotong royong, bahu membahu dalam upaya mewujudkan lingkungan
yang bersih.
Usia
anak SD adalah usia yang paling tepat untuk dikenalkan sikap kepedulian sosial. Dalam hal ini lingkungan yang paling
berpengaruh adalah keluarga, karena orang yang paling dekat selama kita
beranjak besar dan paling sering kita temui adalah keluarga. Memiliki jiwa
kepedulian sosial sangat penting bagi setiap orang karena kita tidak bisa hidup
sendirian di dunia ini, begitu juga pentingnya bagi anak karena kelak mereka
pun akan hidup mandiri tanpa orangtuanya lagi. Dengan jiwa sosial yang tinggi,
mereka akan lebih mudah bersosialisasi serta akan lebih dihargai.
Berdasarkan
uraian diatas, peneliti akan melakukan penelitian di SD Negeri Cipari Desa
Kebon Pedes Kecamatan Kebon Pedes Kabupaten Sukabumi dengan menggunakan metode
kuantitatif, untuk menganalisis apakah siswa di SD tersebut sudah memiliki
sikap kepedulian sosial dan bagaimana peran keluarganya dalam menumbuhkan sikap
kepedulian sosial.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang permasalahan diatas, maka dirumuskan permasalahan “Bagaimana
peran keluarga dalam membantu menumbuhkan sikap kepedulian sosial pada anak SD
?” Masalah tersebut dijabarkan lagi dalam rumusan yang lebih khusus, sebagai
berikut :
1. Apa
saja jenis-jenis kepedulian sosial yang bisa ditumbuhkan pada anak SD?
2. Peran
keluarga seperti apa yang dapat membantu menumbuhkan sikap kepedulian sosial
pada anak SD?
3. Bagaimana
upaya yang dilakukan oleh keluarga dalam menumbuhkan sikap kepedulian sosial
pada anak SD?
1.3 Sistematika Penulisan
Pada bab awal kami membahas latar belakang masalah
tentang kepedulian sosial, rumusan masalah yang kami tulis berupa pertanyaan
seperti pada halaman 3, lalu pada bab selanjutnya diuraikan literatur tentang
kepedulian sosial menurut para ahli dan dilengkapi hipotesis atau dugaan
sementara bahwa minimnya peran orangtua dalam menumbuhkan sikap
kepedulian terhadap anak usia SD. Metodelogi yang kami gunakan adalah metode
kuantitatif.
Pada bab
pembahasan, kami menjawab dan menjelaskan
mengenai apa yang ada didalam rumusan masalah,
seperti pada halaman 27.
Dan didalam bab terakhir, kami mengemukakan kesimpulan mengenai jurnal yang kami
buat dan dilengkapi dengan lampiran.
BAB II
REVIEW LITERATUR
2.1 Manusia sebagai Makhluk Sosial
Secara
kodrati, manusia merupakan makhluk monodualistis, artinya selain sebagai
makhluk individu, manusia juga berperan sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk
sosial, manusia dituntut untuk mampu bekerjasama dengan orang lain sehingga
tercipta sebuah kehidupan yang damai.
Manusia
sebagai makhuk sosial, artinya manusia sebagai warga masyarakat. dalam
kehidupan sehari-hari manusia tidak mungkin dapat hidup sendiri atau mencukupi
kebutuhan sendiri. Meskipun dia mempunyai kedudukan dan kekayaan, dia selalu
membutuhkan bantuan manusia lain. Setiap manusia cenderung untuk berkomunikasi,
berinteraksi, dan bersosialisasi dengan manusia lainnya. Bahkan sejak lahir
pun, manusia sudah disebut sebagai makhluk sosial.
Dr.
Johannes Garang mengemukakan bahwa
makhluk sosial adalah makhluk berkelompok dan tidak mampu hidup
menyendiri.
Makhluk
sosial adalah makhluk yang memiliki kecenderungan menyukai dan membutuhkan
kehadiran sesamanya sebagai kebutuhan dasar yang disebut kebutuhan sosial (Nana
Supriatna)
Makhluk
sosial adalah makhluk yang selalu berinteraksi dengan sesamanya, saling
membutuhkan satu sama lain. (Waluyo)
Makhluk
sosial merupakan zoon politicon, yang berarti menusia dikodratkan untuk hidup
bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain. (Aristoteles)
Makhluk
sosial merupakan makhluk yang dalam kesehariannya sangat membutuhkan peran
makhluk yang lainnya. (Momon Sudarma)
Makhluk
sosial adalah makhluk yang tidak akan sanggup hidup sendiri, selalu bergantung
pada orang lain dan apa yang dibutuhkannya dalam hidup juga dibutuhkan pula
oleh orang lain. (Muhammad Zuhri)
Makhluk
sosial adalah makhluk yang mustahil dapat hidup sendiri serta membutuhkan
sesamanya dalam melakukan aktivitas sehari-hari. (Deliarnov)
Makhluk
sosial merupakan makhluk yang saling berhubungan satu sama lain serta tidak
dapat melepaskan diri dari hidup bersama. (Liturgis)
2.2 Pengertian Kepedulian Sosial
Nilai
– nilai sosial (social values) menurut
Kniker (1977:30) adalah sebagai berikut: Social values as the standards or rule of a society. This definition is
abroad enough to encompass both the abstract (justice, honesty) and the
specific (laws and virtues, such as punctuality. Advocates of this definition
would see human beings as rule-following animals who basiccally wish to life in
harmony with their fellow human beings.
Menurutnya,
nilai sosial sebagai suatu standar atau aturan dalam suatu masyarakat. Nilai
tersebut bersifat abstrak, seperti nilai keadilan dan kejujuran, dan bersifat
spesifik, seperti hukum dan kebajikan. Nilai–nilai sosial tersebut digunakan
untuk mencapai kehidupan manusia yang harmonis.
Lee
(2000:2) memberikan makna nilai-nilai sosial secara singkat yakni sebagai
standar perilaku dalam masyarakat (social values are behavior standards of a
society).
Sedangkan
Raven (1977:220) memberikan makna yang lebih lengkap sebagai berikut: Sosial values are set of society attitude
considered as a truth and it is become the standard for people to act in order
to achieve democratic and harmonious
life. The values are used a standards to act and to construct a sincere
relationship among the society.
Raven
memberi penjelasan bahwa nilai-nilai sosial merupakan seperangkat sikap
masyarakat yang dihargai sebagai suatu kebenaran dan dijadikan standar untuk
bertingkah laku memperolah kehidupan masyarakat yang demokratis dan harmonis.
Nilai sosial tersebut digunakan sebagai acuan untuk bertingkah laku guna menata
hubungan sesama warga masyarakat secara sukarela.
Menurut
Raven nilai-nilai sosial terdiri atas: (1)
kasih sayang (pengabdian, tolong menolong, kekeluargaan, kesetiaan, dan
kepedulian); (2) tanggung jawab (rasa memiliki, disiplin, dan empati ) dan (3)
keserasian hidup ( keadilan, toleransi, kerjasama, dan demokrasi ).
1.
Kasih
sayang (Loves)
Kasih
sayang merupakan kegiatan penjalinan
hubungan batin terhadap sesama melalui pengabdian, tolong menolong, kekeluargaan, kesetiaan, dan kepedulian (Raven,1977:228).
Pengabdian
adalah rela berkorban demi kebaikan
bersama atau demi kepentingan umum, seperti memberi sebagian harta yang
dimiliki untuk pembangunan sarana umum. Tolong menolong adalah turut memberikan
bantuan kepada orang lain yang membutuhkan, contoh ikut membantu membiayai
pengobatan tetangga yang sakit. Kekeluargaan adalah menjalin hubungan yang
lebih akrab dengan orang lain, contohnya mengatasi masalah informal, akrab,
suka sama suka. Kesetiaan adalah menjaga hubungan yang akrab agar tidak retak, contohnya menjaga kesatuan
antar warga di tempat tinggalnya.
Kepedulian adalah menaruh perhatian guna menciptakan kebajikan kepada
orang lain, contohnya turut melakukan bakti sosial untuk menanggulangi bencana.
2.
Tanggung
Jawab (Responsibility)
Tanggung
jawab merupakan aktivitas melaksanakan sesuatu pekerjaan dengan penuh rasa
memiliki, disiplin, dan empati (Raven,1977:229).
Rasa
memiliki adalah menganggap sesuatu seperti miliknya yang perlu dijaga dan
dipelihara, contohnya menggunakan sarana umum milik masyarakat dengan
hati-hati. Disiplin adalah mematuhi aturan yang berlaku, contohnya datang ke
undangan ulang tahun temannya tepat pada waktunya. Empati adalah turut
merasakan perasaan orang lain dan bersedia mengatasi masalah, contohnya merasa
terpanggil mengantarkan temannya yang sakit ke Puskesmas.
3.
Keserasian
Hidup (Life Harmony)
Keserasian
hidup merupakan aktivitas menciptakan suasana kehidupan yang berkeadilan,
toleransi, kerjasama, dan demokrasi (Raven,1977:230).
Keadilan
adalah menegakkan keseimbangan hidup untuk memperoleh kebenaran, contohnya
berani bertanggung jawab terhadap perbuatan yang benar. Toleransi adalah
menghargai terhadap setiap perbedaan orang lain, contohnya menghormati teman
yang berlainan agama, suku, atau golongan. Kerjasama adalah turut bersama-sama memecahkan masalah yang dihadapi
masyarakat, contohnya gotong royong membersihkan tempat ibadah. Demokrasi
adalah partisipasi dalam kegiatan masyarakat sesuai aturan, contohnya mengeluarkan
pendapat atau menghargai pendapat orang
lain dalam rapat kelas menjelang perpisahan kelas enam.
Beberapa
pandangan yang telah dikemukakan Kniker, Lee dan Raven di atas, menunjukkan
bahwa nilai-nilai sosial mempunyai fungsi sebagai standar dan acuan bertingkah
laku dalam berhubungan dengan orang lain. Mereka yakin bahwa menjunjung tinggi
nilai-nilai tersebut, suasana kehidupan yang dicita-citakan dapat tercapai
yaitu tatanan kehidupan yang demokratis dan harmonis.
Kata
sosial digunakan pada hubungan individu dengan yang lainnya dari jenis yang
sama, atau sejumlah individu yang membentuk kelompok-lelompok yang
terorganisir, juga tentang kecenderungan-kecenderungan dan impuls-impuls yang
berhubungan dengan yang lainnya ( Hartini
dan Kartasaputra, 1992:382).
Dalam
saling berhubungan tersebut muncul kepentingan umum yang harus dipecahkan
bersama dan terjadilah tindakan sosial atau tingkah laku yang berhubungan
dengan pihak lain atau social act (aksi sosial). Tindakan ini dilakukan atas adanya dorongan
yang berasal dari sikap sosial untuk melakukan suatu tindakan secara sadar yang
menguntungkan pihak lain atau social attitude (Hartini dan Kartasaputra, 383-384). Tindakan sengaja
untuk memberi keuntungan atau mengatasi kesulitan yang ada pada orang lain
didorong oleh rasa sesama manusia. Inilah yang menyebabkan timbulnya kepedulian
sosial.
Doyle
Paul Johson mengatakan bahwa kepedulian menunjuk pada suatu keadaan hubungan
antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan
kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional
bersama.
Kepedulian
sosial yang dimaksud adalah perasaan bertanggung jawab atas kesulitan yang
dihadapi oleh orang lain di mana seseorang berdiam dan terdorong untuk
melakukan sesuatu untuk mengatasinya (Lawang , 1994:181).
Kepedulian
sosial yang lebih mendalam
sifatnya adalah yang disebut empathy (Myers: 2003). “Empathy is able to feel
what another feels” dan “to rejoice, and
weep with those who weep”
Empati
berasal dari bahasa Yunani pathos
yang berarti ketertarikan fisik. Sehingga dapat diartikan sebagai kemampuan
seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain,
Artikel (2009). Tetapi menurut Artikel lain (2009) berpendapat bahwa empati
merupakan perasaan yang mendalam dan kuat yang mendekati penderitaan. Dipihak
lain empati justru dianggap sebagai salah satu cara yang efektif dalam usaha
mengenali, memahami, dan mengevaluasi orang lain karena dimungkinkan seseorang
masuk dan menjadi sama dengan orang lain. Dengan berempati seseorang bisa
benar-benar merasakan dan menghayati orang lain termasuk bagaimana seseorang
mengamati dan menghadapi masalah dan keadaannya. Singgih (1992:71).
Menurut
Heinz Kohut, Empati adalah kemampuan untuk berpikir dan merasa diri ke dalam
kehidupan batin orang lain.
Menurut
Jean Decety, Empati adalah rasa kesamaan perasaan yang dialami oleh diri
sendiri dan lainnya, tanpa menimbulkan kebingungan dan masalah antara dua
Individu.
Nancy
Eisenberg mengemukakan bahwa Empati adalah sebuah respon afektif berasal dari
penangkapan atau pemahaman kondisi emosional orang lain atau kondisi lainnya, dan
mirip dengan apa yang orang lain harapkan untuk merasakan. (2002, hal 135).
Greenson
RR berpendapat bahwa untuk berempati berarti untuk berbagi, untuk mengalami
perasaan orang lain. ( Sumber: Sutandar, R. R. 1960. Empati dan
perubahan-perubahan tersebut. International Journal of Psikoanalisis. hal 418 )
Alvin
Goldman mengemukakan bahwa Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri ke
dalam mental orang lain untuk memahami emosi dan perasaannya.
Simon
Baron-Cohen (2003) mengemukakan bahwa Empati adalah reaksi spontan dan terjadi
secara alami yang masuk ke pikiran orang lain dan perasaannya, terdapat dua
elemen utama untuk berempati. Yang pertama adalah komponen kognitif yaitu
memahami perasaan orang lain dan kemampuan untuk mengambil perspektif mereka,
elemen kedua empati adalah komponen afektif, ini adalah respon yang tepat untuk
mengamati keadaan emosi orang lain.
Catur
(Artikel, 2009) berpendapat bahwa empati adalah kemampuan untuk memahami
perasaan atau emosi orang lain. Empati dapat juga diartikan kesanggupan untuk
turut merasakan apa yang dirasakan orang lain dan kesanggupan untuk menempatkan
diri dalam keadaan orang lain. Empati membuat manusia dapat turut merasa senang
dengan kesenangan orang lain, turut merasa sakit dengan penderitaan orang lain,
dan turut berduka dengan kedukaan oranglain.
Menurut
Yuliasari (2009), kemampuan berempati ini termasuk kedalam bidang pengembangan
sosial. Perbedaan sosial dan empati yaitu kalau sosial salah satunya difokuskan
pada keterampilan berkomunikasi baik secara verbal maupun non verbal, sedangkan
empati hanya difokuskan kepada kemampuan berkomunikasi secara non verbal.
Setiawati,
at al. (2007 : 2) dalam Yuliasari
(2009) mengungkpkan bahwa : empati berkenaan dengan sensitivitas yang bermakna
sebagai suatu kepekaan rasa terhadap hal-hal yang berkaitan secara emosional.
Kepekaan rasa ini adalah suatu kemampuan dalam bentuk mengenali dan mengerti
perasaan oranglain. dalam kehidupan sehari-hari, sensitivitas terdapat pada
kemampuan bertenggang rasa. Ketika tenggang rasa sudah muncul pada diri
seseorang maka akan diikuti dengan munculnya sikap penuh pengertian dan peduli
dengan sesama.
Setiawati,
at al. (2007 : 2) dalam Yuliasari
(2009) mengungkapkan juga bahwa tenggang rasa yaitu mengingat perasaan (hati)
orang lain. Adapun indicator perilaku yang menunjukan sikap tenggang rasa dalam
kajian ini yaitu meminta izin apabila meminjam sesuat dari orang lain, senang
memuji teman, suka menolong teman, menghibur teman yang sedang menangis,
menghargai hasil karya orang lain, bersikap sabar dan disiplin menunggu
giliran.
Setiawati,
at al. (2007 : 27-28) dalam Yuliasari
(2009) mengungkapkan juga bahwa peduli
sesama biasanya disebut baik hati, ini terjadi ketika melihat suatu situasi
atau keadaan orang lain dari sudut pandang orang tersebut dan bukan atas
pandang dirinya sendiri. Adapun Indikator perilaku yang menunjukan sikap peduli
pada teman dalam kajian ini yaitu meminjamkan mainan pada temannya, menunggu
teman menyelesaikan tugasnya dan mau berbagi dengan teman.
Borba
(2008 : 21) mengungkapkan bahwa empati adalah kemapuan memahami perasaan dan
kekhawatiran orang lain. Begitu juga menurut Zuriah (2007 : 37) empati adalah
untuk mengetahui dan dapat merasakan keadaan yang dirasakan orang lain. Seperti
yang diungkapkan oleh Ibung (2009 : 132) bahwa empati yaitu kemampuan
menempatkan diri pada posisi orang lain, untuk mengerti dan merasakan pemikiran
serta perasaan orang lain.
Dari
beberapa pengertian empati diatas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berempati
adalah kemampuan seseorang untuk dapat berkomunikasi secara non verbal dimana
anak dapat memahami dan merasakan perasaan yang dialami oran lain. Anak yang
memiliki kemampuan berempati dapat merasakan perasaan orang lain dan mendengar
keluhan temannya sehingga dapat bersosialisasi dengan siapapun dan dapat
diterima dimanapun anak tersebut berada.
Dalam
Kamus Besar Lengkap Bahasa Indonesia (2008 : 117, Yuliasari, 2009) dinyatakan
bahwa empati adalah kondisi mental yang membuat seseorang merasa dirinya dalam
perasaan yang sama dengan orang lain. Selain itu Hurlock alih bahasa oleh
Tjandra dan Zarkasih (1978 : 262) mengemukakan bahwa empati adalah kemampuan
meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati orang lain.
Pernyataan tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Carkhuff (Budiningsih, 2004
: 45) empati adalah sebagai kemampuan untuk mengenal, mengerti, dan merasakan
perasaan orang lain dengan ungkapan verbal dan perilaku, dan mengkomunikasikan
pemahaman tersebut kepada orang lain.
Berempati
tidak hanya dilakukan dalam bentuk memahami perasaan orang lain semata, tetapi
harus dinyatakan secara verbal dan dalam bentuk tingkah laku. Tiap tahap dalam
berempati menurut Gazda, dkk (1991 dalam Budiningsih, 2004 : 48) yaitu :
1. Tahap
pertama, mendengarkan dengan sesama apa yang diceritakan orang lain, bagaimana
perasaannya, apa yang terjadi pada dirinya.
2. Tahap
kedua, menyususn kata-kata yang sesuai untuk menggambarkan perasaan dan
siatuasi orang tersebut.
3. Tahap
ketiga, menggunakan susunan kata tersebut untuk mengenali orang lain dan
berusaha memahami perasaan serta situasinya.
Dari
berbagai pengertian empati tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan
berempati adalah suatu kemampuan seseorang dimana orang tersebut dapat mengerti
perasaan orang lain dengan menempati posisi orang lain. Misalnya ketika ada
seorang anak yang tidak membawa bekal ke sekolah saat makan bersama, maka ada
salah seorang anak yang mengajak makan dan berbagi makannanya kepada anak yang
tidak membawa bekal tersebut, karena anak yang membawa bekal dapat merassakan
temannya bagaimana kalau keadaan tersebut berada dalam posisi dirinya sendiri.
Hoffman
dalam Borha (2008 : 43-44) seorang ahli yang terkenal dalam pengembangan moral,
meyakini bahwa anak-anak mengembangkan kemapuan berempati mereka dalam beberapa
tahapan, yaitu sebagai berikut :
1)
Tahap
1 : Empati Umum (bulan-bulan pertama kelahiran)
Seorang
anak tidak dapat untuk membedakan dengan tegas antara dirinya dan
lingkungannya, sehingga ia tidak dapat memahami penderitaan orang lain karena menganggap
penderitaan itu sebagai bagian dari dirinya. Misalnya : Bayi berusia 6 bulan
mendengar bayi lain menangis dan ikut menangis juga.
2)
Tahap
2 : Empati Egosentris (mulai usia 1 tahun)
Reaksi
seorang anak pada anak lain yang sedang menerita perlahan-lahan mulai berubah.
Dia sekarang memahami ketidaknyamanan orang lain sebagai bukan bagian dirinya.
Misalnya : anak usia 2 tahun melihat ibunya menangis, lalu dia duduk disamping
ibunya dan mengusap-usap tangan ibunya dengan lembut.
3)
Tahap
3 : Empati Emosional (Tahun-tahun pertama prasekolah)
Pada
usia sekitar dua atau tiga tahun, seorang anak mulai mengembangkan kemampuan
memerankan orang lain. Dia mengenali bahwa perasaan seseorang mungkin berbeda
dari perasaanya, yang dapat dengan sangat baik mengetahui sumber-sumber
penderitaan orang lain dan mencerminkan cara sederhana memberikan bantuan atau
dukungan. Misalnya : ketika seorang anak tidak membawa bekal ke sekolah, ada
anak lain yang membaginya.
4)
Tahap
4 : Empati Kognitif (tahun-tahun pertama sekolah dasar, mulai usia 6 tahun)
Pada
tahap ini seorang anak dapat memahami persoalan dari sudut pandang orang lain,
sehingga ada peningkatan dalam usahanya mendukung dan membantu kebutuhan orang
lain. Kemampuannya menggunakan bahasa untuk membantu orang lain juga meningkat
pesat. Misalnya : ketika ada seorang nenek membutuhkan bantuan untuk menaiki
tangga, anak membantu nenek tersebut untuk menaiki tangga sehingga sampai ke
tujuan dengan aman.
5)
Tahap
5 : Empati Abstrak (tahun-tahun akhir masa kanak-kanak, usia 10-12 tahun)
Pada
tahap ini seorang anak dapat memperluas empatinya melampaui hal-hal yang ia
ketahui secara pribadi dan mengamati langsung kelompok masyarakat yang belum
perna ia temui. Misalnya : Ketika anak menonton TV, masyarakat Nabire mengalami
kekurangan gizi. Anak merasa jika menyumbangkan uangnya, maka orang yang
mengalami kekurangan gizi tersebut akan merasa lebih baik.
Memiliki
jiwa kepedulian sosial sangat
penting bagi tiap orang karena manusia tidak bisa hidup sendirian di dunia ini,
begitu juga pentingnya bagi anak karena kelak mereka pun akan hidup mandiri
tanpa orangtuanya lagi. Dengan jiwa sosial yang tinggi, mereka akan lebih mudah
bersosialisasi serta akan lebih dihargai. Kepedulian sosial itu adalah sebuah
tindakan. bukan hanya sebatas pemikiran atau perasaan. Jadi apabila kita
melihat orang-orang korban bencana di televisi dan kita hanya bisa kasihan, itu
adalah percuma karena apabila kita peduli maka kita harus bertindak. Karena
sesungguhnya peduli itu tidak hanya tahu tentang sesuatu yang salah atau benar,
tapi ada kemauan melakukan gerakan sekecil apapun.
2.3 Pengertian Keluarga, Ciri-ciri, dan
Fungsinya
A.
Pengertian Keluarga
Keluarga adalah unit atau satuan masyarakat terkecil yang
sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Kelompok ini dalam
hubungannya dengan perkembangan individu sering dikenal dengan sebutan primary
group. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai macam bentuk
kepribadiannya dalam masyarakat.
Keluarga
mempunyai 4 karakteristik yang memberi kejelasan tentang konsep keluarga
1. Keluarga
terdiri dari orang-orang yang bersatu karena ikatan perkawinan, darah atau
adopsi. Yang mengiakat suami dan istri adalah perkawinan, yang mempersatukan
orang tua dan anak-anak adalah hubungan darah (umumnya) dan kadang-karang
adopsi.
2. Para
anggota suatu keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah dan mereka
membentuk suatu rumah tangga (household), kadang-kadang satu rumah tangga itu
hanya terdiri dari suami istri tanpa anak-anak, atau dengan satu atau dua anak
saja.
3. Keluarga
itu merupakan satu kesatuan orang-orang yang berinteraksi dan saling
berkomunikasi, yang memainkan peran suami dan istri, bapak dan ibu, anak
laki-laki dan anak perempuan.
4. Keluarga
itu mempertahankan suatu kebudayaan bersama yang sebagian besar berasal dari
kebudayaan umum yang lebih luas.
Dalam bentuknya yang paling dasar sebuah keluarga terdiri
atas seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan ditambah dengan anak-anak
mereka yang belum menikah, biasanya tinggal dalam satu rumah, dalam antropologi
disebut keluarga inti. satu keluarga ini dapat juga terwujud menjadi keluarga
luas dengan adanya tambahan dari sejumlah orang lain, baik yang kerabat maupun
yang tidak sekerabat, yang secara bersama-sama hidup dalam satu rumah tangga
dengan keluarga inti.
Emile Durkheim mengemukakan tentang sosiologi keluarga
dalam karyanya : Introduction a la sosiologi de la famile (mayor Polak, 1979:
331). Bersumber dari karya ini muncul istilah : keluarga conjugal : yaitu
keluarga dalam perkawinan monogamy, terdiri dari ayah, bibi, dan anak-anaknya.
Keluarga conjugal sering juga disebut keluarga batih atau keluarga inti.
Koentjaraningrat
membedakan 3 macam keluarga luas berdasarkan bentuknya :
1. Keluarga
luas utrolokal, berdasarkan adapt utrolokal, terdiri dari keluarga inti senior
dengan keluarga-keluarga batih atau inti anak laki-laki maupun anak perempuan
2. Keluarga
luas viriolokal, berdasakan adapt viriolokal, terdiri dari satu keluarga inti
senior dengan keluarga-keluarga inti dari anak-anak lelaki
3. Keluarga
luas uxorilokal, berdasarkan adapt uxorilokal, terdiri dari satu keluarga inti
senior dengan keluarga-keluarga batih atau inti anak-anak perempuan
Pengertian
keluarga menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:
1. Menurut
Khairuddin (1997:3) merumuskan inti sari pengertian keluarga sebagai berikut:
a. Keluarga
merupakan kelompok sosial kecil yang umumnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak.
b. Hubungan
sosial diantara angota keluarga relatif tetap dan berdasarkan atas ikatan
darah, perkawinan, dan atau adopsi.
c. Hubungan
antar angota keluarga dijiwai oleh suasana kasih sayang dan rasa tanggung
jawab.
d. Fungsi
keluarga ialah merawat, memelihara dan melindingi anak dalam rangka
sosialisasinya agar mereka mampu mengendalikan diri dan berjiwa sosial.
2. Menurut
Kartono (1977:59) mengemukakan keluarga merupakan persekutuan hidup primer dan
alami di antara seorang wanita, yang dekat dengan tali pekawinan dan cinta
kasih.
3. Reisner
(1980) mengemukakan keluarga adalah sebuah kelompok yang terdiri dari dua orang
atau lebih yang masing-masing mempunyai hubungan kekerabatan yang terdiri dari
bapak, ibu, adik, kakak, kakek dan nenek.
4. Logan’s
(1979) mengemukakan bahwa keluarga adalah sebuah sistem sosial dan sebuah kumpulan
beberapa komponen yang saling berinteraksi satu sama lain.
5. Gillis
(1983) mengemukakan bahwa keluaraga adalah sebuah kesatuan yang kompleks dengan
atribut yang dimiliki tetapi terdiri dari beberapa komponen yang masing-masing
mempunyai arti sebagaimana unit individu.
6. Duvall
mengemukakan bahwa keluarga merupakan sekumpulan orang yang dihubungkan oleh
ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan untuk meningkatkan dan
mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental,
emosional dan sosial dari tiap anggota.
7. Bailon
dan Maglaya berpendapat bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih
individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan, atau adopsi, hidup
dalam satu rumah tangga, saling berinteraksi satu sama lainnya dalam perannya, menciptakan
dan mempertahankan suatu budaya.
8. Johson’s
(1992) mengemukakan bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang
mempunyai hubungan darah yang sama atau tidak, yang terlibat dalam kehidupan
yang terus menerus, yang tinggal dalam satu atap, yang mempunyai ikatan
emosional dan mempunyai kewajiban antara satu orang dengan orang yang lainnya.
9. Lancester
dan Stanhope (1992) mengemukakan bahwa keluarga adalah dua atau lebih individu
yang berasal dari kelompok keluarga yang sama atau yang berbeda dan saling mengikutsertakan
dalam kehidupan yang terus menerus, biasanya bertempat tinggal dalam satu
rumah, mempunyai ikatan emosional dan adanya pembagian tugas antara satu dengan
yang lainnya.
10. Jonastik
dan Green (1992) mengemukakan bahwa keluarga adalah sebuah sistem yang saling
tergantung, yang mempunyai dua sifat (keanggotaan dalam keluarga dan
berinteraksi dengan anggota yang lainnya).
11. Bentler
et. Al (1989) mengemukakan bahwa keluarga adalah sebuah kelompok sosial yang
unik yang mempunyai kebersamaan seperti pertalian darah atau ikatan keluarga, emosional,
memberikan perhatian atau asuhan, tujuan orientasi kepentingan dan memberikan
asuhan untuk berkembang.
12. National
Center For Statistic (1990) mengemukakan bahwa keluarga adalah sebuah kelompok
yang terdiri dari dua orang atau lebih yang berhubungan dengan kelahiran,
perkawinan atau adopsi dan tinggal bersama dalam satu rumah.
13. Spradley
dan Allender (1996) mengemukakan bahwa keluarga adalah satu atau lebih individu
yang tinggal bersama, sehingga mempunyai ikatan emosional, dan mengembangkan
dalam interelasi sosial, peran dan tugas.
14. Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional atau BKKBN (1992) mengemukakan
bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami
istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan
anaknya.
B.
Ciri-ciri
Keluarga
1. Ciri-ciri
Umum Keluarga
Menurut
Mac Iver dan Page dalam Khairuddin (1997:6) ciri-ciri umum keluarga adalah
sebagai berikut:
a. Keluarga
merupakan hubungan perkawinan.
b. Berbentuk
perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan
yang sengaja dibentuk dan dipelihara.
c. Suatu
sistem tata nama, termasuk perhitungan garis keturunan.
d. Ketentuan-ketentuan
ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota kelompok yang mempunyai ketentuan
khusus terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan
untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak.
e. Merupakan
tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga yang walau bagaimanapun tidak
mungkin terpisah terhadap kelompok keluarga.
2. Ciri-ciri
Khusus Keluarga
Menurut
Khairuddin (1997:7) ciri-ciri khusus keluarga adalah:
a. Kebersamaan
b. Dasar-dasar
emosional
c. Pengaruh
perkembangan
d. Ukuran
yang terbatas
e. Posisi
inti dalam struktur sosial
f. Tanggung
jawab para anggota
g. Aturan kemasyarakatan
Lembaga Keluarga
Ciri-Ciri Keluarga :
Keluarga umumnya bersifat universal, artinya yang namanya
keluarga itu dimana-mana sama, yang mempunyai tugas antara lain :
1. Mengontrol hubungan kelamin, dan tempat kelahiran bagi
anak-anak yang sah.
2. Kingsley Davis, dalam bukunya
“Human Society” (1969) menyebutkan bahwa fungsi keluarga antara lain
adalah reproduksi (mengatur keturunan), mengatur sistem penggantian, mendidik
balita.
Tipe Keluarga :
1. Keluarga dapat
diklasifikasikan secara luas dalam hubungannya dengan pola hubungan keluarga.
§ Keluarga Konjugal (Conjugal
Family) atau keluarga kecil (nuclear family) yakni keluarga yang
terdiri dari ayah ibu dan anak-anaknya.
§ Keluarga Konsanguini (Consanguine
Family) atau sering disebut keluarga besar (exstended family), yakni
keluarga yang didasarkan atas hubungan darah (kakek-nenek, paman, keponakan, ).
Umumnya dalam setiap masyarakat
berlaku kedua sistem kekeluargaan tersebut.
2. Keluarga dapat juga
digolongkan menurut bentuk perkawinannya.
§ Monogami (monogamy)
yakni sistem kekeluargaan yang didasarkan pada satu suami satu istri.
§ Poligami (poligamy)
yakni sistem kekeluargaan dimana seorang suami dapat mempunyai lebih dari satu
istri atau sebaliknya. Kalau seorang suami mempunyai lebih dari satu istri
disebut polyginy. Kalau seorang istri mempunyai lebih dari satu suami disebut
polyandry.
§ Senogami (cenogamy)
yakni sistem kekeluargaan yang membolehkan suami istri mempunyai lebih dari
satu istri atau suami.
3. Disamping sistem perkawinan,
keluarga dapat juga dibedakan menurut tata cara pemilihan calon suami atau istri.
§ Endogami (Endogamy)
menentukan bahwa seseorang harus memilih calon suami atau istri dalam kelompoknya
sendiri.
§ Eksogami (Exogamy)
menentukan bahwa seseorang harus memilih calon suami atau istri dari luar kelompoknya sendiri.
4. Keluarga juga digambarkan
menurut sumber otoritasnya.
§ Keluarga patriarkal (patriarchal)
ditandai dengan kekuasaan dipihak laki-laki.
§ Keluarga matriarkal (matriarchal)
ditandai dengan kekuasaan dipihak wanita.
§ Equalitarian adalah sistem kekeluargaan
yang membagi kekuasaan sama antara laki-laki dan wanita.
5. Turunan juga merupakan basis
untuk membedakan sistem kekeluargaan.
§ Patrilineal adalah sistem
kekeluargaan yang mengaitkan dengan garis turunan laki-laki.
§ Matrilineal adalah sistem
kekeluargaan yang mengaitkan dengan garis turunan perempuan.
§ Bilateral adalah sistem
kekeluargaan yang mengikat hubungan baik melalui garis turunan laki-laki atau
perempuan.
6. Tempat tinggal dapat juga
dipakai untuk membedakan sistem kekeluargaan.
§ Keluarga Patrilocal,
menggambarkan keadaan dimana pasangan bertempat tinggal pada keluarga atau desa
tempat asal suami.
§ Keluarga Matrilocal,
menggambarkan keadaan dimana pasangan bertempat tinggal pada keluarga atau desa
tempat asal istri.
§ Keluarga Neolocal,
menggambarkan keadaan dimana pasangan tinggal ditempat yang masih baru (tidak
di desa keluarga laki-laki atau perempuan).
Disamping klasifikasi yang disebutkan
di atas para ahli sosiologi juga membedakan dua konsep-konsep yang berorientasi
pada perkawinan (family of procreation) yakni keluarga yang terbentuk dari suatu
perkawinan dan diakhiri bila salah satu diantaranya meninggal; dan keluarga
yang berorientasi pada kelahiran dan sosialisasi (family orientation)
yakni keluarga tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan dan biasanya
ikatannya terus menerus sepanjang masa kehidupannya.
C.
Fungsi Keluarga
Istilah keberfungsian sosial mengacu pada cara-cara
yang dipakai oleh individu akan kolektivitas seperti keluarga dalam bertingkah
laku agar dapat melaksanakan tugas-tugas kehidupannya serta dapat memenuhi
kebutuhannya. Juga dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dianggap
penting dan pokok bagi penampilan beberapa peranan sosial tertentu yang harus
dilaksanakan oleh setiap individu sebagai konsekuensi dari keanggotaannya dalam
masyarakat. Penampilan dianggap efektif diantarannya jika suatu keluarga mampu
melaksanakan tugas-tugasnya, menurut (Achlis, 1992) keberfungsian sosial adalah
kemampuan seseorang dalam melaksanakan tugas dan peranannya selama berinteraksi
dalam situasi social tertentu berupa adanya rintangan dan hambatan dalam
mewujudkan nilai dirinya mencapai kebutuhan hidupnya.
Keberfungsian sosial keluarga mengandung pengertian
pertukaran dan kesinambungan, serta adaptasi resprokal antara keluarga dengan
anggotannya, dengan lingkungannya, dan dengan tetangganya. Kemampuan berfungsi
sosial secara positif dan adaptif bagi sebuah keluarga salah satunya jika
berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan dan fungsinya
terutama dalam sosialisasi terhadap anggota keluarganya.
Pada dasarnya keluarga yang terbentuk dalam suatu
masyarakat mempunyai fungsi yang jelas.
Keluarga terbentuk dari ikatan pertemuan antara seorang laki-laki dan perempuan
yang pada akhirnya akan hidup dalam satu atap yaitu rumah tangga keluarga.
Fungsi keluarga adalah sebagai berikut:
a. Fungsi
biologis
Keluarga
merupakan tempat lahirnya anak-anak, fungsi biologis orang tua adalah
melahirkan anak. Fungsi ini merupakan dasar kelangsungan hidup masyarakat.
b. Fungsi
afeksi
Dalam
keluarga terjadi hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi.
Hubungan afeksi ini tumbuh sebagai akibat hubungan cinta kasih yang menjadi
dasar perkawinan.
c. Fungsi
sosialisasi
Fungsi
sosialisasi ini menujuk peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak.
Melalui interaksi ini anak akan mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap,
keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai di kehidupan masyarakat dalam rangka
perkembangan kepribadiannya (Khairuddin 1997:48).
d. Fungsi
Ekonomi
Fungsi ekonomi : mencari
sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan penggunaan penghasilan keluarga
untuk memenuhi kebutuhan keluarga, menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga
di masa datang
e. Fungsi
Agama
Fungsi keagamaan :
memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga yang lain dalam kehidupan
beragama, dan tugas kepala keluarga untuk menanamkan bahwa ada kekuatan lain
yang mengatur kehidupan ini dan ada kehidupan lain setelah di dunia ini.
Pengertian keluarga juga dapat dilihat dalam arti kata yang
sempit, sebagai keluarga inti yang merupakan kelompok sosial terkecil dari
masyarakat yang terbentuk berdasarkan pernikahan dan terdiri dari seorang suami
(ayah), isteri (ibu) dan anak-anak mereka. Sedangkan keluarga dalam arti kata
yang lebih luas misalnya keluarga RT, keluarga komplek, atau keluarga
Indonesia. (Munandar, 1985).
Keluarga menjalankan peranannya sebagai suatu sistem sosial
yang dapat membentuk karakter serta moral seorang anak. Keluarga tidak hanya
sebuah wadah tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan anak. Sebuah keluarga
sesungguhnya lebih dari itu. Keluarga merupakan tempat ternyaman bagi anak.
Berawal dari keluarga segala sesuatu berkembang. Kemampuan untuk
bersosialisasi, mengaktualisasikan diri, berpendapat, hingga perilaku yang menyimpang.
Keluarga merupakan payung kehidupan bagi seorang anak.
Keluarga merupakan tempat ternyaman bagi seorang anak. Beberapa fungsi keluarga
selain sebagai tempat berlindung, (Mudjijono, et al., 1995) diantaranya :
1.
Mempersiapkan
anak-anak bertingkah laku sesuai dengan niai-nilai dan norma-norma
aturan-aturan dalam masyarakat dimana keluarga tersebut berada (sosialisasi).
2.
Mengusahakan
terselenggaranya kebutuhan ekonomi rumah tangga (ekonomi), sehingga keluarga
sering disebut unit produksi.
3.
Melindungi
anggota keluarga yang tidak produksi lagi (jompo).
4.
Meneruskan
keturunan (reproduksi).
Menurut Kingsley Davis dalam Murdianto (2003) menyebutkan
bahwa fungsi keluarga ialah :
a.
Reproduction,
yaitu menggantikan apa yang telah habis atau hilang untuk kelestarian sistem
sosial yang bersangkutan.
b.
Maintenance,
yaitu perawatan dan pengasuhan anak hingga mereka mampu berdiri sendiri.
c.
Placement,
memberi posisi sosial kepada setiap anggotanya, baik itu posisi sebagai kepala
rumah tangga maupun anggota rumah tangga, atau pun posisi-posisi lainnya.
d.
Sosialization,
pendidikan serta pewarisan nilai-nilai sosial sehingga anak-anak kemudian dapat
diterima dengan wajar sebagai anggota masyarakat.
e.
Economics,
mencukupi kebutuhan akan barang dan jasa dengan jalan produksi, distribusi, dan
konsumsi yang dilakukan di antara anggota keluarga.
f.
Care
of the ages, perawatan bagi anggota keluarga yang telah lanjut usianya.
g.
Political
center, memberikan posisi politik dalam masyarakat tempat tinggal.
h.
Physical
protection, memberikan perlindungan fisik terutama berupa sandang, pangan, dan
perumahan bagi anggotanya.
2.4 Hipotesis
Keluarga
kurang menyadari bahwa pembinaan kepedulian sosial pada anak sangat penting
mereka hanya mengandalkan bimbingan dari sekolah yang mereka anggap adalah
segalanya. Seharusnya keluarga ikut
berperan dalam membantu menumbuhkan sikap kepedulian sosial. Terlepas benar
atau tidaknya akan di buktikan dari hasil analisis yang peneliti lakukan.
BAB III
METODOLOGI
PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Didalam
penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, yaitu melaksanakan
penelitian dengan cara yang sistematis, terkontrol dan empiris. Penelitian
kuantitatif ini lebih menekankan kepada cara pikir yang lebih positif yang
bertitik tolak dari fakta sosial yang bekerja dengan angka, yang datanya
berwujud bilangan (skor atau nilai), peringkat, dan frekuensi, yang dianalisis
dengan menggunkan statistik untuk menjawab pertanyaan atau hipotesis penelitian
yang sifatnya spesifik. Dengan menggunakan metode kuantitatif peneliti dapat
menyajikan hasil penelitian yang berupa data statistik yang mudah dipahami dan
dapat digeneralisasikan pada keadaan dan kondisi yang berbeda.
Sugiyono
(2008:13) menyatakan bahwa “Metode Kuantitatif adalah metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi
atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara
random, pengumpulan data menggunakan instrument penelitian, analisis data
bersifat kuantitatif atau statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang
telah ditetapkan”.
Metode
ini juga dapat dikatakan sebagai suatu penulisan yang menggambarkan keadaan
yang sebenarnya tentang objek yang diteliti pada saat penelitian berlangsung.
3.2 Populasi dan Sampel
A.
Populasi
Sugiyono
(2001: 55) menyatakan bahwa populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri
atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi
adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2002: 108).
Populasi
dalam penelitian ini adalah siswa SD Negeri Cipari Desa Kebon Pedes Kecamatan
Kebon Pedes Kabupaten Sukabumi. Hal ini karena peneliti melihat umumnya sikap
kepedulian sosial harus ditumbuhkan sejak dini. Dengan perincian sebagai
berikut:
Tabel
3.1. Populasi Responden
Kelas
|
Jumlah Siswa
|
Kelas 1
|
29
|
Kelas 2
|
24
|
Kelas 3
|
20
|
Kelas 4
|
25
|
Kelas 5
|
23
|
Kelas 6
|
26
|
Total
|
147
|
B.
Sampel
Sampel
adalah “Bagian dari kumpulan objek penelitian atau populasi yang di pelajari
dan diamati”. (Rakhmat, 2001:78).
Sedangkan
menurut Hasan (2002:58) sampel adalah “Bagian dari populasi yang diambil
malalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, jelas dan
lengkap dan dianggap bisa mawakili populasi”.
Nawawi
(1997:44) menyatakan bahwa “Sampel adalah sebagian dari populasi yang menjadi
sumber data sebenarnya dalam suatu penulisan, sebagai individu yang diselidiki itu
sebagai sampel dan contoh. Dan sampel adalah sebagian yang diambil dari
populasi yang menggunakan cara-cara tertentu”.
Dalam
penarikan sampel maka jumlahnya harus representative untuk nanti hasilnya bisa
digeneralisasikan. Untuk memenuhi persyaratan tersebut maka dalam penentuan
jumlah sampel peneliti menggunakan rumus perhitungan Taro Yamane.
Kemudian
jumlah sampel akan ditentukan dari populasi responden yaitu siswa SD Negeri
Cipari Desa Kebon Pedes Kecamatan Kebon Pedes Kabupaten Sukabumi, dengan nilai
presisi 10%. Menggunakan rumus Taro
Yamane ( Yamane, 1967; 99) :
Keterangan:
n
= Jumlah sampel yang di cari
N = Jumlah populasi
d = Jumlah presisi 10% (0,10)
Sampel
di ambil dari total populasi sebagai wakil dari populasi yang merupakan
responden SD Negeri Cipari Desa Kebon
Pedes Kecamatan Kebon Pedes Kabupaten Sukabumi. Dangan menggunakan rumus Taro Yamane, maka jumlah sampel yang
dibutuhkan adalah sebanyak:
= 59,5
Dari
perhitungan tersebut, didapat hasil 59,9 orang, maka dibulatkan menjadi 59
orang. Jadi, jumlah sampel yang diteliti sebanyak 59 responden.
Penentuan
jumlah sampel penelitian menggunakan teknik pengambilan sampel secara teknik
Stratified Proporsional Random Sampling yaitu metode sampel dengan cara
membagikan populasi kedalam kelompok-kelompok yang homogen yang disebut strata,
dan kemudian sampel diambil secara acak dari tiap strata tersebut.
Alasan
menggunakan teknik Sampling ini adalah untuk mempermudah peneliti dalam
pengumpulan data melalui angket yang dibagikan.
Tabel
3.2. Pengambilan Sampel
Kelas
|
Jumlah
Siswa
|
Sampel
|
Kelas 1
|
29
|
12
|
Kelas 2
|
24
|
10
|
Kelas 3
|
20
|
8
|
Kelas 4
|
25
|
10
|
Kelas 5
|
23
|
9
|
Kelas 6
|
26
|
10
|
Total
|
147
|
59
|
Pengambilan
sampel dari masing-masing stratum :
1. Kelas
1 = 29/147 x 59 = 11,63 = 12 ( dibulatkan keatas )
2. Kelas
2 = 24/147 x 59 = 9,63 = 10 ( dibulatkan keatas )
3. Kelas
3 = 20/147 x 59 = 8,02 = 8 ( dibulatkan kebawah )
4. Kelas
4 = 25/147 x 59 = 10,03 = 10 ( dibulatkan kebawah )
5. Kelas
5 = 23/147 x 59 = 9,23 = 9 ( dibulatkan kebawah )
6. Kelas
6 = 26/147 x 59 = 10,43 = 10 ( dibulatkan kebawah )
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Pada
penelitian ini, peneliti menggunakan angket atau kuesioner untuk mengumpulkan
data-data. Kuesioner atau angket merupakan suatu daftar yang berisi
pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab atau dikerjakan oleh orang yang
menjadi sasaran pertanyaan.
Sugiyono
(2007:142) menyatakan bahwa “ Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang
digunakan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis
kepada responden untuk dijawabnya”.
Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer adalah data
yang diperoleh atau dikumpulkan langsung oleh peneliti berdasarkan jawaban responden.
Data primer yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Angket atau kuesioner.
Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan angket dengan skala Dikotomi, skala
dikotomi yaitu skala yang diperoleh secara langsung melalui kuesioner dengan
menggunakan dua kategori “ Ya ” dan “ Tidak ” yang diberikan kepada setiap
responden. Jenis pertanyaannya merupakan jenis pertanyaan kombinasi (
terbuka-tertutup), selain responden bisa memilih jawaban yang sudah tersedia,
responden juga diberikan kesempatan untuk
memberikan jawaban lain.
Contoh
pertanyaan yang peneliti gunakan dalam angket penelitian:
No
|
Pertanyaan
|
Ya
|
Tidak
|
Jenis
|
1
|
Apakah
disekolahmu suka diadakan kerja bakti?
|
a) Membersihkan
halaman sekolah
b) Membersihkan
ruangan kelas
c) Membersihkan
lingkungan sekitar rumah
Uraian :
|
3.4 Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan
penelitian dilakukan pada tanggal 02 Februari 2013 sekitar pukul 08.00 – 09.00
WIB di SD Negeri Cipari Desa Kebon Pedes Kecamatan Kebon Pedes Kabupaten
Sukabumi.
3.5 Analisis Data
Untuk
mencapai sebuah kesimpulan atas data yang berhasil dikumpulkan maka proses yang
dilakukan adalah penyusunan kriteria yang didasarkan pada data yang dikumpulkan
dari hasil angket, yaitu sebagai berikut:
Tabel
3.3. Hasil Angket
Pertanyaan
|
Bobot
| |
Ya
|
Tidak
| |
1
|
59
|
0
|
2
|
56
|
3
|
3
|
39
|
20
|
4
|
23
|
36
|
5
|
46
|
13
|
Total
|
223
|
72
|
Dari
tabel diatas, dapat dihitung persentasinya sebagai berikut :
Untuk
jawaban “Ya”
x
100% = 75,6%
Untuk
jawaban “Tidak” =
x
100% = 24,4%
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang kami lakukan
di SD Negeri Cipari Desa Kebon Pedes Kecamatan Kebon Pedes Kabupaten Sukabumi
pada tanggal 02 Februari 2013, hasilnya 75,6% siswa menjawab “Iya” pada
pertanyaan yang kami berikan, sedangkan sisanya yaitu 24,4% menjawab “Tidak”.
Hal ini berarti di SD Negeri Cipari sudah ditanamkan sikap kepedulian sosial
baik itu oleh sekolah maupun oleh keluarga. Jadi dapat dikatakan bahwa sekolah
dan keluarga menyadari fungsinya masing-masing dan dapat berperan aktif dalam
menumbuhkan sikap kepedulian sosial kepada anak.
4.1 Jenis-jenis Kepedulian Sosial yang bisa
ditumbuhkan pada anak SD
Kepedulian
sosial terdiri dari dua kata, yaitu “peduli” dan “sosial”. Peduli memiliki
makna mengindahkan atau memperhatikan, sedangkan sosial mengandung makna suka
memperhatikan kepentingan umum, suka menolong, menderma. Dengan demikian kepedulian sosial adalah sikap
yang peduli atau memperhatikan kondisi sosial atau masyarakat atau kepentingan
umum disekitarnya. Berikut ini beberapa sikap dan perilaku yang mencerminkan
kepedulian sosial yang bisa ditumbuhkan pada anak SD:
1.
Membantu orang lain yang
membutuhkan bantuan
Tidak
semua orang berkecukupan dan mampu memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu,
hendaknya saling membantu antara yang satu dengan yang lain. Membantu disini
tidak harus berupa materi / uang, tapi bisa membantu tenaga dan pikiran.
Misalnya siswa di ajak untuk belajar menyisihkan uang untuk saudara-saudaranya
yang kurang mampu dan mereka sendiri yang membagikannya. Dengan hal itu ada
multifungsi selain anak secara tidak langsung peduli pada sesama, tumbuh
kesadaran bahwa ada orang lain selain mereka.
2.
Menjenguk orang sakit
Orang
tidak selamanya sehat, sakit juga bisa menyerang siapa saja, tidak pandang
bulu. Orang yang sakit membutuhkan bantuan dan dukungan orang lain baik bantuan
materi maupun non materi ( doa dan motivasi).
3.
Membantu korban bencana alam
Indonesia
termasuk Negara yang rawan bencana alam yang tentu menimbulkan korban. Korban
bencana tentu membutuhkan bantuan kita semua, baik materi maupun non materi.
Oleh karena itu kita hendaknya ikut membantu mereka semampu kita.
4.
Membersihkan lingkungan sekitar
Lingkungan
yang kita tempati perlu dirawat agar tetap bersih dan rapi. Kebersihan
lingkungan menjadi tanggung jawab kita sebagai warga. Oleh karena itu kita
hendaknya ikut berpartisipasi dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan.
5.
Ikut dalam kegiatan di masyarakat
atau sekolah
Sebagai
warga masyarakat, baik di rumah maupun sekolah sering ada kegiatan yang
dilakukan bersama. Misalnya kerja bakti dan perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia.
Orang yang memiliki kepedulian sosial akan ikut dalam kegiatan-kegiatan
tersebut untuk mempererat jalinan antar warga dan membangun kepedulian sesama.
4.2 Peran
Keluarga dalam Membantu Menumbuhkan Sikap Kepedulian Sosial Pada Anak SD
Manusia
adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Seperti
yang dikemukakan oleh Muhammad Zuhri bahwa makhluk sosial adalah makhluk yang
tidak akan sanggup hidup sendiri, selalu bergantung pada orang lain dan apa
yang dibutuhkannya dalam hidup juga dibutuhkan pula oleh orang lain.
Didalam
keadaan yang normal, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah
orangtuanya, saudara-saudaranya yang lebih tua, serta mungkin kerabat dekatnya
yang tinggal serumah. Melalui lingkungan itulah si anak mengenal dunia
sekitarnya dan pola pergaulan hidup yang berlaku sehari-hari. Melalui
lingkungan itulah anak mengalami proses sosialisasi awal. Orang tua, saudara,
maupun kerabat terdekat lazimnya mencurahkan perhatiannya untuk mendidik anak
supaya anak memperoleh dasar-dasar pola pergaulan hidup yang benar dan baik,
Melalui penanaman disiplin dan kebebasan serta penyerasiannya. Pada saat ini
orangtua, saudara maupun kerabat (secara sadar atau setengah sadar) melakukan
sosialisasi yang biasa diterapkan melalui kasih sayang. Atas dasar kasih sayang
itu, anak di didik untuk mengenal nilai-nilai tertentu, seperti nilai
ketertiban dan ketentraman, nilai kebendaan dan keakhlakan, nilai kelestarian
dan kebaruan, dan seterusnya.
Ketika
manusia menyadari bahwa dirinya adalah makhluk sosial, maka akan melahirkan
kepedulian sosial. Kepedulian sosial yang dimaksud adalah perasaan bertanggung
jawab atas kesulitan yang dihadapi oleh orang lain di mana seseorang berdiam
dan terdorong untuk melakukan sesuatu untuk mengatasinya (Lawang ,
1994:181).
Berjiwa
sosial dan senang membantu merupakan sebuah ajaran yang universal dan
dianjurkan oleh semua agama. Meski begitu, kepekaan untuk melakukan semua itu
tidak bisa tumbuh begitu saja pada diri setiap orang karena membutuhkan proses
melatih dan mendidik.
Dalam
proses melatih dan mendidik ini, keluarga lah yang paling bertanggung jawab
dalam menumbuhkan sikap kepedulian sosial kepada anaknya, terutama anak usia
SD.
Peran
keluarga dalam membantu menumbuhkan sikap kepedulian sosial dapat dilakukan
dengan berbagai cara dan pastinya lebih intensif bila dibandingkan dengan di
sekolah, dikatakan lebih intensif dikarenakan dalam keluarga ada keterikatan
antara anak dan keluarga. seperti yang dikemukakan Bentler et. Al (1989) bahwa
keluarga adalah sebuah kelompok sosial yang unik yang mempunyai kebersamaan
seperti pertalian darah atau ikatan keluarga, emosional, memberikan perhatian
atau asuhan, tujuan orientasi kepentingan dan memberikan asuhan untuk
berkembang.
Dalam keluarga, terjadi proses sosialisasi, yaitu proses
pengintegrasian individu kedalam kelompok sebagai anggota kelompok yang
memberikan landasan sebagai makhluk
sosial. Didalam keluarga itu terjadi proses pendidikan dalam arti proses
“pendewasaan” dari individu yang tidak berdaya kepada calon pribadi yang
mengenal pengetahuan dasar, norma sosial, nilai-nilai, dan etika pergaulan.
Oleh karena itu, keluarga ini juga merupakan lembaga pendidikan bagi individu
yang membawanya kedalam suasana yang makin mandiri. Keluarga sebagai keompok
inti dalam masyarakat, sangat besar maknanya bagi tiap individu untuk menjadi
makhluk sosial yang integratif sadar sosial.
Dikemukakan
juga oleh Spradley dan Allender (1996) bahwa keluarga adalah satu atau lebih
individu yang tinggal bersama, sehingga mempunyai ikatan emosional, dan
mengembangkan dalam interelasi sosial, peran dan tugas. Salah satu fungsi
keluarga adalah fungsi sosialisasi, Fungsi sosialisasi ini menujuk peranan
keluarga dalam membentuk kepribadian anak.
Hal
inilah yang menjadi salah satu keuntungan,karena di sekolah guru terbagi dalam
memberikan perhatiannya.
Peran
keluarga yang dapat diterapkan dalam membantu menumbuhkan sikap kepedulian
sosial pada anak SD salah satu contoh misalnya, jika kebetulan anak dan keluarga
sedang menonton televisi bersama lalu ada berita tentang bencana alam yang
ternyata mereka membutuhkan uluran tangan hendaknya si anak di beritahu bahwa
mereka yang demikian itu membutuhkan bantuan dari orang lain, dengan begitu
anak diajarkan untuk berempati, karena kepedulian sosial
yang lebih mendalam sifatnya adalah yang disebut empati, seperti yang
dikemuakan oleh Myers (2003), “Empathy is
able to feel what another feels” dan “to
rejoice, and weep with those who weep” .
Melalui
interaksi ini anak akan mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan,
cita-cita, dan nilai-nilai di kehidupan masyarakat dalam rangka perkembangan
kepribadiannya (Khairuddin 1997:48).
Dari
pengertian itu tergambar bahwa nilai empati yang dimaksud adalah kemampuan seseorang
untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, menyenangi apa yang disenangi
orang lain dan sebaliknya ikut menangis apa yang ditangisi orang lain.
4.3 Upaya yang Dapat Dilakukan oleh Keluarga dalam
Membantu menunbuhkan Sikap Kepedulian Sosial
pada Anak SD
Upaya
yang dapat dilakukan keluarga dalam rangka membantu menumbuhkan sikap
kepedulian sosial pada anak SD dapat dilakukan dari hal-hal yang sederhana,
namun cukup berdampak pada tumbuhnya sikap kepedulian sosial pada anak. Misalnya
peduli kepada teman sepermainan. Orangtua bisa mencontoh keluarga
Lowther yang terletak di Burlington, Ontario, Kanada. Keluarga Lowther merayakan
hari ulang tahun dengan cara yang sedikit berbeda.
Seperti pesta anak-anak pada umumnya, Lowther
memberikan kado kepada anaknya yang ulangtahun. Namun, ada satu perbedaan besar
pada acara perayaan ulang tahun di keluarga ini. Isi kadonya adalah pilihan
kegiatan amal bagi anaknya.
Di keluarga Lowther, ketika Anaknya menginjak usia 7
tahun, Anak tidak akan lagi menikmati meriahnya pesta ulang tahun malah
teman-teman anaknya akan diminta untuk membawa kado yang akan anaknya buka
sebelum disumbangkan .
Bahkan diwaktu ulang tahun yang akan datang keluarga
Lowther melakukan kegiatan yang lebih serius yang menyangkut dengan hal
kemanusiaan seperti misalnya menghibur anak-anak di rumah sakit atau anak-anak
di berbagai belahan dunia yang membutuhkan makanan, tempat tinggal, bahkan pensil.
Sangat penting bagi anak-anak untuk belajar bahwa tidak semua orang seberuntung
mereka, dan bahwa mereka dapat membuat sebuah perbedaan.
Contoh lainnya adalah seorang ibu bernama Blakeley
yang berprofesi sebagai seorang guru SMP. Dia melakukan berbagai kegiatan
penggalangan dana di sekolahnya, termasuk membantu anak-anak kelaparan,
menyumbang buku-buku bekas, dan satu hari khusus untuk kontemplasi yang
dilakukan setiap tahun untuk meningkatkan kepedulian terhadap anak-anak yang
terabaikan di seluruh dunia.
Blakeley juga melakukan hal yang sama untuk pendidikan
anak laki-lakinya yang berusia 5 tahun. Ia mengumpulkan makanan kaleng pada
hari Halloween untuk disumbangkan serta menyisihkan sepertiga dari uang
jajannya setiap minggu untuk disumbangkan kepada badan amal pilihannya di akhir
tahun.
Berikut ini adalah sepuluh cara untuk membuat anak
mempunyai kepedulian sosial sambil menikmati kegiatan keluarga yang
menyenangkan:
1.
Mengunjungi panti asuhan dan bermain bersama anak-anak
di sana.
2.
Menyumbangkan mainan dan pakaian layak pakai untuk
anak-anak yang membutuhkan.
3.
Mengajak anak untuk menyumbangkan sebagian dari
uang sakunya untuk amal
4.
Menolong anak yang kurang mampu yang berada baik di
dalam maupun di luar negeri.
5.
Turut membantu kegiatan gotong royong yang ada di
masyarakat.
6.
Menyumbangkan buku-buku ke perpustakaan atau rumah
baca.
7.
Menyumbangkan makanan kepada orang lain.
8.
Menciptakan kebiasaan baru di keluarga dengan menjadi
sukarelawan
9.
Ikut membantu di tempat penampungan hewan.
10. Turut
serta dalam kegiatan gerak jalan, lari, sepatu roda, atau bersepeda untuk amal.
Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan oleh keluarga
kepada anaknya agar si anak ketika kelak dewasa ia akan mempunyai kecakapan
sosial dan kecakapan personal.
Kecakapan sosial (social skill) diartikan sebagai
kecakapan yang dibutuhkan untuk hidup (life skill) dalam masyarakat yang
multi-kultur, masyarakat demokrasi dan masyarakat global yang penuh persaingan
dan tantangan. Kecakapan sosial meliputi kecakapan berkomunikasi, baik secara
lisan maupun tertulis dan kecakapan bekerjasama dengan orang lain, baik dalam
kelompok kecil maupun kelompok besar (Widoyoko, 2009: 212). Menurut Anwar (2006: 30) kecakapan sosial
mencakup kecakapan komunikasi dengan empati, dan kecakapan bekerjasama. Empati,
sikap penuh pengertian dan seni komunikasi dua arah, perlu ditekankan karena
yang dimaksud berkomunikasi bukan sekedar menyampaikan pesan tetapi isi dan
sampaiannya pesan serta dengan kesan baik yang akan menumbuhkan hubungan
harmonis.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan
bahwasanya kecakapan sosial perlu dikembangkan karena kecakapan sosial
dibutuhkan untuk bekal hidup (life skill) dalam masyarakat yang multikultural.
Sehingga dengan memiliki ketrampilan ini diharapkan anak SD dapat memiliki
bekal untuk dapat bekerja dan berusaha yang dapat mendukung pencapaian taraf
hidup yang lebih baik.
Kecakapan personal (personal skill) merupakan
kecakapan yang diperlukan agar siswa dapat eksis dan mampu mengambil peluang
yang positif dalam kondisi kehidupan yang berubah dengan sangat cepat. Kecakapan
personal diantaranya meliputi kecakapan berpikir kritis dan kreatif, kecakapan
mengambil keputusan, kecakapan memecahkan masalah, percaya diri, memiliki etos
kerja (Widoyoko, 2009: 213). Kecakapan memecahkan masalah tidak terlepas dari
kecakapan mengambil keputusan karena memecahkan masalah berarti mengambil
keputusan dari berbagai alternatif yang dapat digunakan untuk memecahkan
masalah. Menurut Anwar (2006: 29) kecakapan personal seperti pengambilan keputusan,
problem- solving. Keterampilan ini paling utama menentukan seseorang dapat
berkembang. Hasil keputusan dan kemampuan untuk memecahkan permasalahan dapat
mengejar banyak kekurangannya. Menurut Majid (2008: 51) kecakapan diri
(personal skill) mencakup penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa,
motivasi, berprestasi, komitmen, percaya diri, dan mandiri.
BAB V
KESIMPULAN
Ternyata
dugaan peneliti salah, keluarga dan sekolah khususnya di SDN Cipari sudah
menanamkan sikap kepedulian sosial sejak dini. Dalam hal ini keluarga murid juga
ikut menerapkan kepedulian sosial, dengan kata lain antara sekolah dan keluarga
saling bersinergi dalam menumbuhkan sikap kepedulian sosial pada anak. Hal ini
disebabkan karena kehidupan sosial di masyarakat masih menjungjung tinggi sikap
kebersamaan, hal itulah yang mempengaruhi terhadap tumbuhnya sikap kepedulian
sosial pada anak. Namun, fenomena ini mungkin akan berbeda jika di tempat lain.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.
Dr. Rusmin Tumanggor. M.A, dkk. Ilmu
Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta : Kencana. 2010
Soekanto,
Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007 (hal 386)
Prof.
Dr. H. Nursid Sumaatmadja. Manusia dalam
Konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungan Hidup. Bandung : Alfabeta. 2012 (hal
31)
Winataputra,
Udin S, dkk. Materi dan Pembelajaran IPS
SD. Jakarta : Universitas Terbuka. 2007 ( hal 4.3)
Rahayu
Ginintasasi, dalam : http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/195009011981032-RAHAYU_GININTASASI/MAKALAH_KELUARGA.pdf
Melinda, dalam : http://www.melindahospital.com/modul/user/detail_artikel.php?id=1185_Kepedulian-Sosial-Perlu-Tanamkan-pada-Anak/
Astrid Wibisono, dalam:
Brighterlife.co.id/2012/03/28/cara-membesarkan-anak-agar-memiliki-rasa-kepedulian/
No comments:
Post a Comment